Last updated : Feb 15 2024

Gender Equality and Social Inclusion (GESI) merupakan alat yang digunakan untuk analisis kesenjangan antara lelaki dan perempuan, serta kelompok inklusi lainnya. konsep GESI sering digunakan sebagai parameter untuk memastikan kebijakan dapat memberikan perhatian khusus pada kesetaraan gender dan pelibatan kelompok marginal.

Dalam konteks perubahan iklim, dampak yang terjadi akibat perubahan iklim akan terdistribusi secara berbeda-beda. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh beragamnya akses kepada sumber daya, termasuk sumber daya keuangan, kepemilikan tanah, dan juga pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Hal ini juga berdampak pada setiap kelompok sosial secara berbeda, dan berdampak lebih parah pada kelompok rentan dan termarjinalkan yang memiliki ketahanan lebih rendah dalam merespons dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Oleh sebab itu, integrasi perspektif GESI dalam perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan berbagai program perubahan iklim, khususnya program BioCF ISFL, diyakini dapat meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan lingkungan pada seluruh sektor. Pengarusutamaan aspek-aspek GESI di seluruh tahapan program juga dapat memastikan aksi perubahan iklim telah mengintegrasikan isu-isu, kebutuhan, dan kontribusi perempuan serta kelompok rentan lainnya.

J-SLMP sudah mengidentifikasi kesenjangan gender dan sosial dalam program BioCF ISFL dengan risiko dan dampak perubahan iklim maupun ketahanan.

Dokumen Strategic Environmental and Social Assessment (SESA) menjelaskan, potensi risiko sosial mencakup risiko yang terkait dengan kegiatan yang dilakukan di wilayah yang sudah ada dan potensi konflik dan/atau sengketa atau wilayah yang tumpang tindih batas dan/atau klaimnya; di antara hukum dan proses adat dan umum/formal; dan potensi konflik saling mengklaim antara migran dan penduduk lokal, terutama di wilayah yang memiliki konsesi. 

Dalam konteks GESI, SESA mencatat terdapat beberapa isu penting yang harus diperhatikan dalam Program BioCF ISFL, antara lain keterlibatan perempuan dan inklusi dalam pengelolaan hutan kurang optimal, implementasi pengarusutamaan GESI di tingkat akar rumpuh masih kurang, kurangnya perhatian terhadap kondisi dan hubungan di antara para pekerja.

Sementara itu, Feedback and Grievance Redress Mechanism (FGRM) juga menyebutkan pentingnya pengarusutamaan gender untuk memastikan akses yang setara dalam mata pencaharian. Pengarusutamaan gender untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam pengelolaan hutan/lahan (misalnya, perhutanan sosial, pertanian berkelanjutan, dan perkebunan).

Dalam mencapai komponen output yang dilaksankan dalam tahap Pre-Investment, J-SLMP telah mengidentifikasi kelompok rentan yang terdampak baik langsung maupun tidak langsung, sehingga perlu dilibatkan dalam pelaksanaan program pengurangan emisi.

Pertama, Penguatan Kebijakan dan Kelembagaan. Pelibatan Masyarakat Adat (MHA), rumah tangga miskin, termasuk mereka bergantung pada hutan, rumah tangga yang bergantung pada hutan atau sumber daya lahan gambut,  komunitas migran lokal, serta komunitas transmigran.

Kedua, Integrasi Pengelolaan Lahan Berkelanjutan. Rumah tangga berpenghasilan rendah, termasuk rumah tangga yang bergantung pada hutan dan tidak memiliki lahan, penyandang disabilitas yang sumber penghasilannya terdampak, komunitas enclave, perempuan yang memanfaatkan kawasan hutan untuk mata pencaharian, penduduk asli, serta komunitas transmigran.

Ketiga, Manajemen, Monitoring dan Evaluasi. Masyarakat berpendapatan rendah, tidak mempunyai lahan, perempuan yang memanfaatkan kawasan hutan untuk mata pencaharian, komunitas enklave, komunitas pinggiran hutan, penduduk asli, komunitas migran, komunitas transmigran.

J-SLMP juga sudah mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan dan masyarakat dalam pelaksanaan Program BioCF. Dukungan ini didapatkan melalui pelaksanaan Persetujuan Atas Dasar Informasi Diawal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) sejak 2020 dan diselesaikan pada 2022.

Peserta yang menghadiri kegiatan PADIATAPA berjumlah 6.450 orang, dengan jumlah 4.812 orang laki-laki dan 1.590 orang perempuan. Berdasarkan target kehadiran yang ingin dicapai, kehadiran peserta mencapai 75 persen. Sementara implementer PADIATAPA sebanyak 35 orang, 14 orang perempuan dan laki-laki 21 orang. Dari pelaksanaan PADIATAPA, terdapat 130 desa/kampung/kelurahan dari 9 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Jambi yang memberikan persetujuan untuk terlibat dalam program penurunan emisi dalam skema BioCF ISFL.

Meskipun demikian, berdasarkan riset Open Climate Financing in Indonesia (OCFI), integrasi konsep GESI dalam implementasi program BioCF ISFL Jambi masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya diterapkan di setiap tahapan program. Misalnya di tahapan persiapan program, pelibatan kelompok perempuan hanya sebatas pada pemberian informasi dan konsultasi. Belum sampai pada tahap pengambilan keputusan tertinggi.

Kondisi tersebut tercermin dalam pelaksanaan kegiatan PADIATAPA yang melibatkan perwakilan masyarakat desa/kampung/kelurahan, kepala desa, kepala kampung, aparat desa, kepala adat, kelompok perempuan (PKK), Karang Taruna, tokoh agama, hingga kelompok tani.

Begitu juga dalam tahapan perencanaan Pre-Investment, program Bio-CF ISFL Jambi belum melibatkan kelompok GESI dari kalangan masyarakat. Perempuan yang terlibat dalam tahapan ini didominasi oleh perempuan dari kalangan Pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat aktif dalam struktur pengurus manajemen projek dan unit pelaksana teknis program Bio-CF Jambi serta perempuan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Minimnya keterlibatan perempuan pada tahapan perencanaan dari kelompok masyarakat disebabkan oleh skema perencanaan yang digunakan dalam tahapan Pre-Investment masih bersifat teknokratis. Penentuan program dan kegiatan untuk penanganan perubahan iklim dalam proyek J-SLMP ini bersifat baku yang telah di tentukan dan dicantumkan dalam dokumen Annual Work Plan dan Procurement Plan yang sudah mendapatkan No Objection Letter (NOL) dari World Bank dan persetujuan dari KLHK.

Selain itu, dari segi penganggaran program pada tahapan pre-investmen ini juga menggunakan mekanisme pinjaman diterushibahkan (on-granting). Skema perencanaan yang diterapkan ini cenderung menutup akses bagi kelompok perempuan untuk mengusulkan program dan kegiatan sesuai kebutuhannya dalam penanganan perubahan iklim.

Dari segi implementasi program, kelompok GESI juga belum sepenuhnya dilibatkan di setiap kegiatan. Hanya beberapa kegiatan yang telah melibatkan perempuan namun kelompok inklusi lainnya belum dilibatkan. Menurut Kepala Kelompok Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Merangin, pelibatan perempuan jarang dilakukan di kegiatan patroli namun di kegiatan rehabilitasi lahan telah melibatkan perempuan.