Indonesia Corruption Watch (ICW) merespons hasil riset Open Climate Change Financing in Indonesia (OCFI) mengenai tata kelola pendanaan perubahan iklim di Indonesia. OCFI mengungkapkan pendanaan perubahan iklim Indonesia dari luar negeri mencapai USD 5,58 miliar selama kurun 2008-2019, namun minim transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pendanaan perubahan iklim.

Koordinator ICW Agus Sunaryanto mengatakan, saat ini banyak program pemerintah yang bertujuan untuk mendorong perubahan, termasuk aksi perubahan iklim, namun publik kerap kali mengalami kesulitan mengakses informasi. Menurut dia, kondisi ini berpotensi menimbulkan korupsi dalam pengelolaan program.

“Kalau kita bicara teori korupsi, artinya setiap  ingformasi yang tertup,  peluang untuk korupsi itu ada. Dalam kata lain, bagaimana kita mengharapkan masyarakat untuk mendorong perubahan kalau  masyarakat itu sendiri tidak mendapatkan akses informasi,” kata Agus dalam diskusi “Tata Kelola Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia” yang digelar OCFI, beberapa waktu lalu.

Masalah lain yang kerap muncul, lanjut Agus, pemerintah juga terkadang menyediakan informasi yang sulit dipahami oleh masyarakat. “Itu juga menjadi problem.”

Oleh sebab itu, Agus mendorong agar pemerintah berkomitmen untuk menyediakan akses informasi yang komprehenship terkait pengelolaan pendanaan perubahan iklim. Di saat bersamaan, informasi yang disediakan harus mudah dipahami oleh masyarakat.

Agus lantas menyoroti pola penggunaan dana perubahan iklim yang lebih banyak untuk sektor infrastruktur. Dia mempertanyakan apakah pola tersebut berkaitan dengan paradigma Presiden Jokowi yang fokus pada infrastruktur atau justru memberikan karpet merah kepada sector swasta untuk terlibat.

“Kami melakukan riset di 2015-2016, ada kecendrungan pengadaan untuk publik meningkat sekitar 50 persen lebih untuk infrastruktur. Kalau data dari KPK, proyek-proyek infrastruktru di era Jokowi banyak di korupsi. Nah ini jadi persoalan,” kata Agus, mengingatkan.

Berdasarkan temuan riset OCFI, penggunaan dana perubahan iklim dari luar negeri lebih banyak untuk sektor energi dan transportasi. Selama 2015-2019, pendanaan untuk dua sektor tersebut masing-masing mencapai USD 2.428,57 juta (43,5%) dan USD 2.422,34 juta (43,4%) dari total USD 5,58 miliar. Sementara sektor limbah hanya USD 162,97 juta (2,9%), kehutanan: USD 153,78 juta (2,8%), dan sektor pertanian: USD 0,07 juta atau 0,01%.

Agus berpandangan, pendanaan perubahan iklim di Indonesia seharusnya berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Bahkan pemerintah harus beransi men-support inisiatif masyarakat lokal yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

“Alokasinya harusnya lebih banyak diarahkan ke situ, daripada infrastruktur yang seolah-olah berkamuflase untuk green infrastructure tapi sebenarnya hal tersebut memberikan karpet merah kepada sektor swasta, yang pada akhirnya swasta itu yang akan menikmati keuntungannya,” tegas dia.

Hal senada diungkapkan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Peneliti ICEL Marsya M. Handayani mengatakan, pemerintah harus memastikan pendanaan perubahan iklim bisa bermanfaat bagi masyarakat. 

Masya mencontohkan program perhutanan sosial-pemberian akses kelola hutan dan lahan yang lestari dan berkelanjutan. Menurut dia, program tersebut sebenarnya cukup bagus baik untuk kepentingan lingkungan dan kemanfaatannya untuk masyarakat, namun pelaksanaannya masih menyisakkan permasalahan.

“Sekarang masyarakat dihadapkan banyak tantangan ketika menjalankan perhutanan sosial. Bahkan, misalnya banyak perusahaan bikin koperasi kecil mengajukan izin perhutanan sosial,” jelas dia.

Masalah lainnya, lanjut dia, terdapat upaya dari suatu perushaan yang mengaku perusahaan konsultan lingkungan jasa ekosistem untuk mengumpulkan kelompok masyarakat yang mempunyai izin perhutanan sosial.

“Akhirnya perusahaan itu menjadi makelar atau berdagang karbon, sementara masyarakatnya tidak mendapat apa-apa. Dan kejadian itu di Riau,” tegas Marsya.