Open Climate Change Financing in Indonesia (OCFI), konsorsium yang terdiri dari dari Media Lintas Komunitas (MediaLink), Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Governance Insight (IGI), mengkritik tata kelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)—lembaga penampung dan penyalur dana perubahan iklim. Menurut OCFI, tata kelola BPDLH belum baik.

Peneliti OCFI Aris Purnomo menjelaskan, tidak terdapat informasi yang menjelaskan bahwa telah memiliki kebijakan terkait penerapan etika dan pencegahan konflik kepentingan dan kebijakan anti fraud.

Selain itu, Aris juga tidak menemukan informasi yang menjelaskan BPDLH memiliki kebijakan dan mekanisme untuk monitoring dan evaluasi, mekanisme pengambilan keputusan untuk efektifitas kebijakan, serta prosedur untuk mengkaji ulang efektifitas kebijakan.

“Soal tata kelola kita hanya melihat data. Memang kalau secara normatif kebijakan ada semua, tapi kalau Peraturan Direktur Utama (BPDLH) yang rinci itu kita tidak bisa menemukan,” jelas dia dalam diskusi “Pengelolaan Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia” yang digelar OCFI, beberapa waktu lalu.

Begitu juga dalam aspek transparansi dan akuntabilitas belum baik, terutama menyangkut pengelolaan dana perubahan iklim. Menurut Aris, BPDLH tidak menyampaikan informasi secara detail dan lengkap mengenai pengelolaan dana perubahan iklim yang dikelola sejak 2019.

“Ke depan BPDLH itu harus bisa memberikan informasi kepada masyarkat soal transparansi dana, potensi sekian yang dikelola sekian, sehingga pemanfaatannya dirasakan masyarakat yang paling terdampak langsung itu bisa dirasakan,” ujar dia.

Dia membeberkan, selama ini besaran dana perubahan iklim yang dikelola pemerintah masih simpang siur, terutama yang bersumber dari dukungan internasional. Dokumen Indonesia Biennial Update Report (BUR) menyebutkan dukungan pendanaan perubahan iklim yang diterima Indonesia dari luar negeri mencapai USD 5,58 miliar selama kurun 2008-2019.

Sementara pendanaan perubahan iklim untuk Indonesia dari laporan BUR negara-negara donor lebih besar lagi. Berdasarkan hasil kompilasi BUR negara-negara donor, total pendanaan perubahan iklim untuk Indonesia mencapai USD 11,46 miliar selama kurun 2009-2020. Dana tersebut berasal dari 13 negara kontributor yaitu Australia, Kanada, Denmark, Prancis, Jepang, Jerman, Korea, Norwegia, Swedia, Inggris, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Belanda.

Aris menegaskan, ketidakjelasan informasi tersebut tidak boleh terjadi lagi ke depan. “Kita sebutkan tadi negara donor banyak memberi kontribusi ke Indonesia tapi di laporan kita miss, nah ini yang perlu jadi PR. Ke depannya BPDLH bisa jadi tulang punggung untuk kedepannya Indonesia bisa jadi impact environment fund harus bisa memperhatikan ini.”

Menyikapi hal terebut, BPDLH tidak menampik pernyataan Aris. Direktur Penghimpun dan Pengembangan Dana BPDLH Endah Kurniawati mengatakan, BPDLH merupakan lembaga baru yang terus berbenah.

“Terima kasih karena kritik itu adalah membangun untuk memperbaiki BPDLH, karena kalau tidak dikritik kita akan terbuai dengan apa yang kita lakukan merasa cukup. Padahal terus terang, kita masih banyak butuh kritikan yang membangun untuk memperbaiki bagaimana BPDLH,” kata Endah, dalam kesempatan yang sama.

Endah menjelaskan, kelembagaan BPDLH di-direct oleh 10 Kementerian/Lembaga (K/L) sebagai steering committee. Ke-10 K/L tersebut adalah Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perencanaan Pembangunan/Bappenas, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri. 

K/L tersebut merupakan pemegang keputusan tertinggi untuk BPDLH, termasuk dalam memberikan arahan strategis dan menentukan visi keseluruhan BPDLH. “Kita bisa menyebutnya saveguard institute,” ujar Endah.

Lalu, ada Dewan Pengawas (Dewas) BPDLH. “Dewas yang mengawasi keseharian BPDLH tiap sebulan dua kali kita dievaluasi. Bagaimana progresnya, apa kendalanya, apa follow up-nya, itu yang dilakukan oleh Dewas,” tambah dia.

Sementara di level proyek, BPDLH memiliki project board. Endah mengatakan, project board bertujuan untuk memberikan guidance secara spesifik pada proyek tertentu, termasuk memberikan assistant strategic dalam pelaksanaan proyek jika diperlukan.

Endah melanjutkan, BPDLH bukan lah satu-satunya lembaga yang mengelola dana perubahan iklim. BPDLH hanya sebatas fund manager yang tidak bisa bekerja sendiri dalam mendesain program aksi perubahan iklim.

“Kita desain pertama dengan K/L pengampu karena memang kayak pengampu yang memiliki baseline dan tentunya di sini mungkin proses konsultasi publik juga ada meskipun kami sadari mungkin bisa dibilang keadaan konsultasi publiknya juga belum memenuhi ekspektasi,” jelas dia.

Dalam penyalurannya, BPDLH juga harus bekerja sama dengan lembaga perantara. “Lembaga perantara itu siapa saja, bisa NGO, perguruan tinggi, dan lembaga non keuangan dengan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi lembaga perantara,” tegas Endah.

Terkait transparansi pengelolaan dana perubahan iklim dari luar negeri, Endah mengatakan bahwa saat ini BKF Kemenkeu sedang menyusun platform untuk mengumpulkan semua lembaga pengelola dana lingkungan hidup. Langkah ini dilakukan agar dapat men-tracking atau melihat integrasi pengelolaan dana lingkungan hidup.

“Jadi ada BPDLH, GCF, PT SMI, BPDKS dan lain-lain. Ini yang kemudian diharapkan dengan platform ini,  pemerintah bisa melihat aliran dana, mapping-nya seperti apa, dan lain-lain,” tandas Endah.