Komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim cukup serius, terutama pasca meratifikasi Paris Agreement (Perjanjian Paris) melalui UU Nomor 16 Tahun 2016. Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menargetkan penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Tahun 2022, Indonesia meningkatkan lagi target penurunan emisi menjadi sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dengan internasional pada 2030 sebagaimana tertuang dalam Enhanced NDC.
Target penurunan emisi GRK paling besar akan disumbang dari sektor hutan dan lahan/ekosistem sebesar 17,2 persen. Lalu sektor energi 11 persen, limbah 0,38 persen, pertanian 0,32 persen serta industri dan pabrik 0,10 persen. Target tersebut dibarengi dengan aksi adaptasi perubahan iklim seperti peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber kehidupan, serta ketahanan ekosistem dan lanskap.
Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 secara eksplisit mentapkan isu ketahanan iklim menjadi agenda prioritas nasional, yaitu “Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim”. Prioritas tersebut diturunkan ke dalam tiga Program Prioritas, yaitu Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Peningkatan Ketahanan Bencana dan Iklim, dan Pembangunan Rendah Karbon.
Menurut Peta Jalan NDC, kebutuhan pendanaan perubahan iklim di Indonesia mencapai Rp3.779 triliun hingga 2030 mendatang ribu triliun. Dengan kata lain, rata-rata kebutuhan pendanaan per tahun sebesar Rp200-300 triliun untuk mengakaselerasi target penurunan emisi.
Meski belum sesuai kebutuhan, APBN rutin mengalokasikan anggaran perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir. Selama kurun 2018-2020, anggaran perubahan iklim sebesar Rp307,94 triliun atau rata-rata sebesar Rp102,65 triliun per tahun.
Selain dukungan APBN, Indonesia juga rutin mendapatkan dukungan pendanaan perubahan iklim dari luar negeri, bahkan jauh sebelum adanya Perjanjian Paris. Berdasarkan riset Open Climate Change Financing in Indonesia (OCFI) dari dokumen Indonesia Biennial Update Report (BUR), total pendanaan perubahan iklim dari luar negeri sebesar USD 5,58 miliar selama kurun 2008-2019.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar berasal dari kerja sama bilateral sebesar USD 4,94 miliar (87,5 persen) dan multilateral USD 652 juta (11,5%). Adapun pendanaan bilateral mayoritas dari Jepang mencapai USD 3,33 miliar (67,4%) dan paling sedikit dari Belanda sebesar USD 470 ribu, sementara pendanaan multilateral mayoritas dari ADB mencapai USD 420 juta (65,1%) dan paling sedikit dari Climate Technology Centre and Network (CTCN) sebesar USD 30 ribu (4,6%).
Sayangnya, dukungan pendanaan perubahan iklim tidak dibarengi dengan pengelolaan yang transparan dan akuntabel, terutama yang bersumber dari luar negeri. Dokumen Indonesia First BUR, Indonesia Second BUR, dan Indonesia Third BUR yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak melaporkan rencana maupun realisasi pendanaan perubahan iklim secara detail.
Selain itu, OCFI tidak menemukan dokumen lain yang menjelaskan penggunaan pendanaan perubahan iklim secara detail. Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang disusun oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga hanya berfokus melaporkan pendanaan yang bersumber dari APBN.
Begitu juga setelah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dibentuk pada 2019 sebagai lembaga penampung dan penyalur dana perubahan iklim, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana perubahan iklim masih menjadi problem. Padahal, dana yang dikelola BPDLH sejak 2019 mencapai 1.500 juta dolar AS yang dikumpulkan berbagai sumber seperti Bank Dunia, Green Climate Fund, hingga APBN.
Oleh sebab itu, OCFI mendorong pemerintah agar menyusun sistem tata kelola (good governance) kelembagaan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pendanaan perubahan iklim. Terlebih lagi, dukungan pendanaan perubahan iklim dari luar negeri bukan cuma-cuma alias hibah tapi justru sebagian besar bersumber dari pinjaman.
Indonesia Second BUR menyebutkan dukungan pendanaan selama 2015-2016 bersumber dari pinjaman mencapai USD 1,81 miliar (98,4%) dari total pendanaan sebesar USD USD 1,84 miliar. Sedangkan pendanaan perubahan iklim dari hibah hanya USD 36,37 juta atau 1,6%.
Sementara itu, Indonesia Third BUR menyebutkan dukungan pendanaan selama 2017-2019 bersumber dari pinjaman mencapai USD 3,15 miliar (84,5%) dari total pendanaan sebesar USD 3,73 miliar. Sedangkan dari hibah hanya USD 573,26 juta (5,5%).