Usai meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015, Indonesia telah menjadikan transisi energi sebagai salah satu strategi utama untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca. Transisi energi merupakan proses peralihan penggunaan sumber energi berbasis fosil penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan seperti panel surya, air, panas bumi, dan angin.
Tansisi energi merupakan langkah yang penting untuk memitigasi dampak krisis iklim, terutama mewujudkan ambisi Indonesia mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah telah merumuskan bauran energi primer nasional dengan target sebagai berikut:
Pertama, pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) paling sedikit mencapai 23 persen pada 2025 dan paling sedikit 31 persen pada 2050. Kedua, pemanfaatan minyak bumi harus kurang dari 25 persen pada 2025 dan 20 persen pada 2050. Ketiga, pemanfaatan batubara minimal 30 persen pada 2025 dan minimal 25 persen pada 2050. Terakhir, pemanfaatan gas bumi harus minimal 22 persen pada 2025 dan minimal 24 persen pada 2050.
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Perpres ini merupakan kebijakan mengenai rencana pengelolaan energi tingkat nasional yang menjadi penjabaran dan rencana pelaksanaan KEN yang bersifat lintas sektor untuk mencapai sasaran kebijakan energi nasional.
Selain itu, pemerintah juga telah membuat peraturan sebagai dasar hukum dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan melalui Perpres Nomor 112 Tahun 2022. Secara umum, aturan ini di antaranya mengatur prioritasi energi terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan, larangan pengembangan PLTU Batubara baru, kecuali daftar PLTU Batubara yang telah masuk dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) tahun 2021 2030.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah menyusun peta jalan net zero emissions dalam sektor energi. Setidaknya, terdapat lima pilar utama dalam strategi pelaksanaannya, yaitu: Pertama, penonaktifan dini PLTU Batubara secara bertahap. Kedua, akselerasi investasi energi terbarukan. Ketiga, pemanfaatan teknologi yang lebih efisien. Keempat, elektrifikasi dalam sektor transportasi, bangunan, dan rumah tangga. Kelima, pemanfaatan jaringan listrik pintar.
Dalam perkembangannya, pemerintah terus mendorong transisi energi yang lebih berkeadilan melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia. Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November 2022.
Program JETP bertujuan membantu Indonesia menerapkan upaya-upaya dekarbonisasi. Salah satu tujuan JETP adalah agar Indonesia membuat peta jalan yang kredibel dan ambisius untuk transisi energi ramah lingkungan dalam sektor ketenagalistrikan, terutama penghentian penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara serta mendorong penggunaan energi bersih.
Selain JETP, Pemerintah Indonesia juga telah meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM). ETM merupakan program peningkatan pembangunan infrastruktur energi dan percepatan transisi energi menuju NZE dengan prinsip adil dan terjangkau pada 2060 atau dipercepat.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan juga telah menunjuk PT SMI sebagai Country Platform Manager untuk ETM. Penunjukkan ini dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 275/KMK.010/2022 terkait penugasan PT SMI sebagai Country Platform Manager.
Dalam menjalankan tugasnya, PT SMI berperan untuk melakukan koordinasi dengan pemangku kepentingan, menyusun kajian komprehensif terkait dukungan fiskal, merumuskan konsep integrasi dukungan fiskal dan fasilitas de-risking dari sumber lain yang sah, serta melakukan langkah-langkah awal yang diperlukan untuk implementasi ETM.