Dukungan pendanaan dari luar negeri untuk aksi perubahan iklim di Indonesia terus mengalir. Apalagi pasca Indonesia menandatangi Paris Agreement alias Perjanjian Paris pada April 2016, di mana Indonesia menargetkan penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030 sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Sejak 2008, Indonesia sudah mendapatkan dukungan pendanaan perubahan iklim. Salah satunya pendanaan dari Jerman sebesar USD 9,9 juta melalui program Forest and Climate Protection (Forclime I) yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai implementing agency. Dana tersebut untuk berbagai kegiatan seperti konservasi keanekaragaman hayati serta pengurangan emisi GRK dari degradasi hutan dan deforestasi.

Berdasarkan hasil riset Open Climate Change Financing in Indonesia (OCFI) dari dokumen Indonesia Biennial Update Report (BUR), total pendanaan dari luar negeri sejak 2008 hingga 2019 sebesar USD 5,58 miliar. Dana tersebut bersumber dari sejumlah negara-negara donor yaitu Jepang, Jerman, Prancis, Amerika Serikat, China, Denmark, Inggris, Korea Selatan, dan Belanda.

Adapun lembaga multilateral yang turut menyalurkan pendanaan perubahan iklim untuk Indonesia antara lain Asian Development Bank (ADB), Inter-American Foundation (IAF), Global Environment Facility (GEF), Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), Bank Dunia, U.S. Agency for International Development (USAID), Gesselschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ), dan Danish International Development Agency (DANIDA).

Rupanya dukungan pendanaan perubahan iklim dari luar negeri bukan dalam bentuk hibah, tapi justru bersumber dari pinjaman alias utang. Dokumen Indonesia Second BUR menyebutkan, pendanaan perubahan iklim selama 2015-2016 yang bersumber dari pinjaman mencapai USD 1,81 miliar atau 98,4% dari total pendanaan sebesar USD 1,84 miliar. Sedangkan pendanaan perubahan iklim dari hibah hanya USD 36,37 juta atau 1,6%.

Indonesia Third BUR juga melaporkan, pendanaan perubahan iklim selama 2017-2019 yang bersumber dari pinjaman mencapai sebesar USD 3,15 miliar atau 84,5% dari total pendanaan sebesar USD 3,73 miliar. Sedangkan hibah hanya USD 573,26 juta atau 15,5%.

Data tersebut menunjukkan bahwa dukungan finansial dari dunia internasional yang menggunakan instrumen finansial pinjaman sebesar USD 4,96 miliar (89%) dan hibah USD 609,63 juta (11%). Untuk diketahui, dokumen Indonesia First BUR tidak menyebutkan instrumen finansial yang digunakan dalam pendanaan perubahan iklim selama 2008-2014 sebesar USD 223,37 juta.

Laporan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebutkan, pendanaan perubahan iklim global selama kurun 2016-2019 mencapai USD 218,9 miliar. Rinciannya adalah USD 46,9 miliar pada 2016, USD 54,5 miliar pada 2017, USD 61,6 miliar pada 2018, USD 62,9 miliar pada 2019.

Dari jumlah tersebut, instrumen pendanaan sebagian besar bersumber dari pinjaman sebesar USD 164,7 miliar atau 75% dari total pendanaan perubahan iklim global. Sementara pendanaan perubahan iklim dari hibah hanya sebesar USD 54,2 miliar atau 54,2%.

Jika dibandingkan dengan dokumen Indonesia Biennial Update Report, pendanaan perubahan perubahan iklim untuk Indonesia yang bersumber dari pinjaman sebesar 3,3% dan hibah 0,3% dari total pendanaan perubahan iklim global. Data ini menunjukkan, selain dari sisi nominal yang timpang, dari sisi persentase juga terdapat ketidakseimbangan penggunaan instrumen dana perubahan iklim antara pinjaman dan hibah.